Selamat datang di blog Himasasi Unsoed... Semoga Anda dalam keadaan sehat dan bahagia... Terima kasih sudah berkunjung... Salam Sastra dan Salam Budaya...

Dialog Penumpang

DIALOG PENUMPANG
Karya: Syarifudin Emseh

"Mau ke mana?"
"Ke masa lalu," jawab si penumpang-lelaki.

Dan percakapan yang singkat itu berhenti. Tentu saja ada semacam perasaan enggan untuk bertanya lebih lanjut. Atau barangkali, diduganya bahwa orang ini sedang galau perasaannya. Barangkali karena habis diputuskan kekasihnya. Intinya, yang semacam itulah.

Penumpang-lelaki ini selepas dari obrolan singkat barusan, ia tampak memandangi ke luar jendela. Berderet-deret rumah, kendaraan, pohon-pohon, dan lainnya telah lewat. Dari caranya memandang, terbaca bahwa ia tampak seperti mencari-cari sesuatu, entah apa. Perasaan sedih menyelimutinya.
Sementara, penumpang-penumpang lain sibuk dengan dirinya masing-masing. Ada yang tampak rebahan di kursi kosong sambil membayangkan rumah. Ada yang mengobrol panjang lebar tentang hidup-kehidupan; pekerjaan dan permasalahan lainnya. Ada pula yang sedang bekerja; cleaning service yang membawakan trash bag, bagian restorasi yang menawarkan makanan dan bantal, petugas yang mengecek tiket, dan lain-lain, dan lain-lain.

Begitulah, kereta selalu hadir antara keberangkatan dan kepulangan, bagi para penumpangnya. Tapi nanti dululah. Itu boleh dikata benar adanya, tapi perasaan si penumpang-lelaki berkata lain. Ia seperti merasa berada di tengah-tengah; di antara keberangkatan dan kepulangan. Perasaan-perasaan yang dilematis.

Apa yang membuatnya menjadi demikian? Entahlah. Bahkan ia sendiri pun tidak tahu. Perasaan seperti itu melintas saja, dan sialnya ia seperti terjebak di dalamnya. Dan "masa lalu" itu, tak bisa dibayangkan seperti apa. Ia hanya berwujud klip yang blur dalam ingatan, dan tidak bisa diwujudkan menjadi sebuah kenyataan apa pun.

Membayangkan masa lalu, membuat si penumpang-lelaki merasa gelisah. Dan untuk melampiaskannya, ia memegang kaca jendela. Lalu, jari-jemarinya bergerak-gerak. Tampak seperti sedang melukiskan sebuah tempat, sebuah wajah, atau sebuah peristiwa; yang pasti melukiskan sesuatu yang bisa mewakili perasaannya saat ini.

Penumpang yang duduk di depannya memperhatikan betul tindak-tanduk si penumpang-lelaki. Ia tidak menjadi kebanyakan orang yang hanya peduli dari diri mereka sendiri. Baginya, transportasi massal (termasuk kereta) adalah laboratorium sosial. Dan tentulah tiap-tiap orang di sini punya tujuan masing-masing. Tapi itu bukan berarti bahwa kau harus menutup segala yang ada di sekelilingmu. Terlebih, andai kata pertanyaan sebelumnya dijawab dengan "normal", ia tidak akan menjadi se-skeptis ini.

Sederhananya, ia menjadi simpatik terhadap penumpang-lelaki di hadapannya. Dan perasaan itu semakin meluap, ketika dilihatnya bahwa tatapan mata si penumpang-lelaki itu menjadi kosong. Ingin ia coba memahami lebih jauh, biarpun itu dapat dikatakan ikut-campur. Tapi tenanglah. Segala sesuatu pasti ada sebab-akibatnya.

Tiba-tiba, terdengar suara pemberitahuan, bahwa sebentar lagi kereta X akan sampai di stasiun A. Sebab karena itulah, si penumpang-lelaki merasa terkejut. Lalu, buru-buru mengemasi diri dan bersiap-siap.

"Mau turun?"
"Ya."

Ah, berarti bereslah sudah, pikir penumpang yang bertanya itu. Sudah sampai tujuan. Dan ia mencoba menyempatkan diri untuk mendoakannya. Sekadar doa keselamatan. Tapi itu lebih dari cukup.

Ketika kereta telah benar-benar berhenti, si penumpang-lelaki bangkit dari duduknya. Lalu menuju pintu keluar. Sejujurnya, penumpang yang ada di hadapannya itu mengucapkan hati-hati. Namun, ucapan itu tidak terbalaskan. Mungkin karena suasana gaduh penumpang yang juga hendak turun membuat suaranya menjadi tersamarkan.

Gerbong itu kini berganti penumpang. Kursi-kursi yang sebelumnya diduduki orang lain, bergantilah menjadi orang yang lain lagi. Penumpang-penumpang turun, yang lainnya naik. Begitulah. Dan di antara penumpang-penumpang yang naik, terdapat si penumpang-lelaki. Hal itu sedikit mengejutkan si penumpang-simpatik, dan membuatnya bertanya-tanya.

"Tidak jadi turun?"
"Saya turun, lalu naik lagi."
"Kenapa?"
"Bukan tujuan saya."
"Memangnya mau ke mana?"
"Ke masa lalu."

Jawabannya sama. Tapi kali ini nadanya sama sekali berbeda. Sebelumnya, kalimat itu diucapkan benar-benar nelangsa. Kini, kalimat diucapkan dengan riang gembira. Disusul oleh tawa yang renyah. Sehingga menjadikannya seperti bahan bercanda.

Penumpang-simpatik seperti melihat sifat yang berbeda dari orang yang sama. Tampak aneh baginya. Tapi sepanjang pengetahuannya, orang dapat berubah-ubah. Tidak ada yang pasti. Dan karena itulah, ia tidak menganggapnya terlalu aneh. Barangkali ada penyebab lain yang tidak diketahuinya. Jangan terlalu dipikirkan!

Justru kali ini, ia bisa mengobrol lebih banyak dengan si penumpang-lelaki. Sering pula, si penumpang-lelaki menciptakan lelucon yang begitu lucu. Begitu bisa membuat suasana menjadi segar. Berbanding terbalik dari suasana sebelumnya yang tampak kaku.

Akan tetapi, ketika si penumpang-simpatik berusaha menanyakan tentang asal-usul atau identitas diri si penumpang-lelaki, begitu lihainya si penumpang-lelaki mengalihkan pembicaraan. Dan dengan spontan menciptakan lelucon yang kadang-kadang membuat lupa pada awal pula percakapan. Satu di antaranya berbunyi : pertanyaan itu ibarat telur, ia enak dimasak dan dimakan, tapi aku tak mau menghancurkan kehidupan. Dan mungkin karena penyampaiannya, perkataan yang absurd itu terdengar lucu, setidak-tidaknya bagi si penumpang-simpatik.

Mereka berdua terlarut dalam senda gurau. Sampai suara pemberitahuan menghentikannya, bahwa kereta api X akan tiba di stasiun H. Dan si penumpang-lelaki pun bersiap-siap turun.

"Mau turun?"
"Ya."
"Yakin?"
"Sungguh!"
"Ya sudah. Hati-hati!"
"Hati-hati juga! Sampai jumpa! Jangan lupa bahagia!"

Ketika kereta telah berhenti, si penumpang-lelaki pun beranjak dari kursinya. Lalu, melambaikan tangannya kepada si penumpang-simpatik. Keduanya saling mengucapkan salam perpisahan. Ah, pertemuan yang singkat. Tapi dari pertemuan yang singkat, si penumpang-simpatik dapat banyak pelajaran. Bahwa kehidupan tidak sendiri-sendiri. Kau ada bersama yang lain. Maka berhubunganlah supaya tidak mengalami keterasingan dan pengasingan. Begitulah hidup berjalan.

Saat kereta mulai berjalan lagi, dan si penumpang-simpatik masih mengenang kesan pertemuannya barusan, ia dikejutkan oleh kedatangan si penumpang-lelaki. Ah, ada apa ini? Kenapa ia kembali lagi?

Belum sempat pertanyaan itu diajukan oleh si penumpang-simpatik, si penumpang-lelaki sudah membuatnya menjadi terdiam seribu bahasa. Ya, dan ini betul seperti di luar dugaannya; perasaannya terombang-ambing. Ia melihat bahwa di tepian mata si penumpang-lelaki mengalir air mata; menangis! Apa sebabnya ia menangis? Si penumpang-simpatik tidak tahu apa-apa. Yang ia tahu, sebelumnya si penumpang-lelaki tampak riang gembira. Itu saja!

Lama-lama, si penumpang-lelaki mulai menjerit-jerit. Hingga membuat semua mata tertuju padanya. Ah, jeritan itu mengganggu penumpang lainnya. Kalaulah ia masih kanak-kanak, itu sedikit dimaklumi. Tapi melihat tampangnya: lelaki yang menjerit-jerit dan menangis-nangis di kereta adalah sesuatu yang sangat mengganggu.

Kemudian datanglah seorang petugas keamanan di kereta itu dan bertanya kepada si penumpang-lelaki, "Kenapa Anda menangis?"

Si penumpang-lelaki tidak menjawabnya. Dan dengan rasa simpatinya tentu, si penumpang-simpatik membela si penumpang-lelaki ini.

"Ia hanya sedang bersedih dan merasa shock karena orang tuanya meninggal," jawab si penumpang-simpatik, mengarang.

Tapi, terdengar ada orang yang membantahnya di kursi sebelah.

"Bohong! Dia bohong," menunjuk si penumpang-simpatik, "orang ini," menunjuk si penumpang-lelaki, "adalah orang gila!"

Gila! Si penumpang-lelaki adalah orang gila! Pernyataan yang begitu mengejutkan, dan membuat si penumpang-simpatik merasa bersedih. Ingin ia mendebat lebih lanjut, tapi tidak bisa. Sebab ....

"Saya memperhatikannya sejak tadi."

Suasana semakin riuh dan gaduh. Hingga pada akhirnya, karena menurut peraturan yang berlaku dan juga desakan dari penumpang-penumpang di gerbong itu (suara mayoritas), maka diputuskanlah bahwa si penumpang-lelaki akan diturunkan di stasiun terdekat dan tidak diperbolehkan menaiki kereta ini lagi.

Si penumpang-simpatik tidak bisa berkata lebih banyak lagi. Sebab tentu saja karena suaranya hanyalah suara minoritas. Sudah hukumnya minoritas selalu kalah.

Dengan sedikit pembungkaman dan juga kekerasan, si penumpang-lelaki ini diamankan. Namun, suara jeritan masih terdengar nyaring. Penumpang-penumpang lain menutup telinganya, kecuali si penumpang-simpatik. Karena rasa simpatinya-lah yang melarangnya untuk menutup telinga. Sedikit hancur perasaannya setelah peristiwa itu berlalu tepat di depan matanya sendiri.

Ketika sampai di stasiun I, yang sebetulnya bukan stasiun pemberhentian kereta X, diturunkanlah si penumpang-lelaki itu. Huh, jelas saja ia tidak menerima perlakuan semacam itu, dan hanya mengumpat-ngumpat saja di dalam hati.

"Asulah! Dasar tidak paham kehidupan, hih!"

Tahulah si penumpang-lelaki bahwa setelah dipikir-pikir ternyata ia salah naik kereta. Kereta itu tidak mengantarkannya menuju tujuannya. Tak apalah! Ia pun menenangkan dirinya.

Setelah perasaannya sudah tenang, ia menuju loket untuk membeli tiket baru. Rupanya di loket itu antre. Mau tidak mau, ia harus menunggu. Waktu jelas terasa terkikis dan mengikis.

Saat tiba gilirannya, dan ia berdiri tepat di muka loket, petugas itu bertanya kepadanya, "Mau pesan tiket dengan tujuan ke mana?"

Dengan keyakinan yang penuh, yang baru kali ini dirasakannya, ia menjawab:

"Ke masa depan."

Selesai
Purwokerto, 18 Juli 2019 (Revised)

Posting Komentar

0 Komentar