Karya: Nanik Tri Hasanah
Belasan orang masih ramai berkelakar di depan rumah Sitas, tak jauh dari kantor kecamatan. Mereka membicarakan rencana untuk anak-anak mereka setelah lulus. Ada yang ingin melanjutkan belajar lagi di kota lain di kampus-kampus umum ternama. Ada yang ingin ke luar untuk mengadu nasib di negeri orang, ada yang ingin mencari beasiswa untuk kuliah di daerah timur, ada juga yang terus terang akan bekerja membantu orang tua.
“Yang paling kasihan menurutku tetap si Awae, lihat saja nanti dia paling-paling akan meneruskan jejak ibunya jadi pemasok TKI. Buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya! Nilai UN-nya yang kebetulan tinggi tak akan menolongnya sama sekali!” Nyinyir Malim yang tidak menyadari bahwa Awae ada di belakangnya.
“Jaga mulutmu ya, Malim!”
Suara Awae yang keras membuat kaget Malim juga orang-orang di depan rumah Sitas. Seketika suara riuh mereka sirna sesaat.
“Aku salah apa sih, Malim? Apa aku pernah menyakiti kamu? Pernah mengunjingmu, sampai-sampai kau terus-terusan menghinaku di hapadan orang-orang desa Jatisaba? Hah!”
“Siapa yang menghinamu, santai saja!”
“Kau kira aku tidak mendengar? Heh! Kau kira aku tidak tahu apa?”
“Kau terlalu sensitif, Awae. Tak usah sombong lah dengan nilai UN-mu paling tinggi, lalu sensitif begitu!”
“Huhf sensitif? sombong? Apa nggak kebalik. Okelah jika maumu begitu, aku maafkan segala penghinaanmu kepadaku. Terserah, kau boleh mengatakan apa saja tentangku, menghinaku, dan mengolok-olokku, Malim. Tapi dengar baik-baik buka pendengaranmu lebar-lebar, tidak tentang ibuku Mainah! Kau tidak aku maafkan atas penghinaanmu pada ibuku, kecuali...”
“Kecuali apa?”
“Kecuali kau mencabut kata-katamu itu, kau umumkan di depan seluruh warga desa Jatisaba, kau ngaku salah, lalu minta maaf dan bertaubat tidak akan mengulangi perbuatanmu. Kalau tidak, maka...”
“Maka apa? Hah!”
“Maka kau layak diarak keliling desa Jatisaba, agar warga desa tau bahwa kamu pembawa berita yang tidak benar!”
“Hah, ngawur emang aku budakmu yang bisa seenaknya saja diarak keliling desa! Lagian siapa sih yang menghina ibumu Mainah? Siapa? Hah!”
“Belum ada satu setengah jam yang lalu kau menghinaku dan menghina ibuku Mainah. Kau katakan aku ini anak haram seorang TKI yang didapat dari seorang majikan di Malaysia, iya kan? Kau mengatakan begitu kepada semua orang yang ada di depan rumah Sitas?”
“Iya betul. Hmm... tapi aku tak menghina ibumu. Itu adalah kenyataan. Itu fakta. Ibumu TKI kan? Terus dia pulang dari Malaysia dalam kondisi hamil, di kampung Jatisaba ini ibumu lalu melahirkan anak perempuan, dan itu adalah kamu! Itu fakta kan?”
“Betul iya betul sekali itu memang ibuku. Seorang TKI yang pulang dari Malaysia dalam kondisi hamil. Akan tetapi ibuku tidak serong. Aku bukan anak haram! Kau menghina ibuku, menuduh ibuku berbuat keji! Aku tidak terima!
“Jika memang kamu ingin tahu tentang keluargaku, akan aku jelaskan dengan sejelas-jelasnya... dengarkan baik-baik ya! Ayahku bernama Gao, ia telah meninggal di Johor, Malaysia, saat sedang merampungkan pendidikan S3. Di situ ibuku sedang hamil tiga bulan mengandung diriku. Ibuku menikah di sana!”
“Ha ha ha... ngarang kamu, mana mungkin TKI di Malaysia menikah di Johor dengan mahasiswa yang sedang kuliah S3, apalagi dengan orang Malaysia yang bernama Gao sedang menempuh pendidikan S3. Terus meninggal di sana. Kalau kau mau mengarang yang masuk akal sedikit Awae. Dasar anak haram, segala cara ditempuh untuk meraih tujuan, termasuk mengarang cerita yang nggak masuk akal!”
“Sudah berapa kali dibilang tarik ucapamu itu dan minta maaflah, malah diulang lagi. Dasar tukang fitnah! Kau telah memfitnahku! Aku tidak terima, kurang ajar!”
“Diam kamu! Dasar anak haram!” gunjingan itu tidak selalu ketinggalan, pasti akan keluar dari mulut pedas Malim. Tiba-tiba Malim menyerang Awae, dengan sangat cepat. Tangan kanannya menampar muka Awae dengan keras. Tapi sungguh diluar dugaan Malim dan siapapun yang berada di situ, dengan tenang Awae menghindar sambil mengirim pukulan yang telak mengenai pelipis Malim.
Malim tambah kalap. Ia langsung menerkam Awae dengan gesit, Awae menghindar dan menendang pantat Malim. Sitas, Musri dan orang-orang yang ada di situ, tertawa terpingkal-pingkal melihat kajadian tersebut. Malim semakin murka, ia merasa menjadi bahan ejekan dan olok-olok orang-orang disekitar rumah Sitas.
Malim melihat ada kayu bakar di dekatnya, ia mengambil potongan kayu bakar tersebut dan menyerang Awae. Berkali-kali Malim berusaha untuk menyabet kayu bakar itu ke Awae namun meleset. Malim benar-benar seperti orang sesat yang serius ingin menghajar Awae sampai babak belur bergelimang darah. Awae tidak salah apapun ia hanya ingin membela ibunya yang dihina dan dicaci maki.
Mungkin Malim ingin membalas kejahatan ibu Awae yang dulu mengajak ibu Malim untuk ikut ke Malaysia. Ibu malim ingin bekerja di sana agar mendapatkan uang yang melimpah supaya bisa mencukupi perekonomian keluarga di Jatisaba, dan memperbaiki rumah yang hampir saja roboh di makan usia. Akan tetapi dua tahun kemudian, keluarga Malim di Jatisaba mendapatkan kabar yang tidak enak, ia mendapat telfon dari teman kerja ibu Malim di Malaysia, bahwa ibu Malim telah meninggal dunia. Beritanya tidak jelas, tidak diketahui mengapa ibu Malim bisa meninggal dan jasadnya tidak sampai ke tanah air. Desas-desus ibu Malim meninggal dengan tidak wajar, tubuhnya ditemukan sudah tidak utuh. Karena oleh majikan yang kejam itu, ibu Malim dijadikan budak dan dijual ke pengepul perbudakan untuk bahan penelitian organ tubuh bagian dalam. Kini majikan dan orang yang membunuh ibu Malim tersebut sudah dihukum mati, hukumannya setimpal dengan apa yang sudah ia berbuat kepada ibu Malim.
Di sini ada kesalah pahaman antara Malim dan Awae, Awae yang tentunya tidak tahu apa-apa tentang penyebab kematian ibu Malim. Malim melimpahkan semua kekesalan dan frustasinya kepada Awae.
Kali ini Awae lebih waspada, ia mengangkat rok bawahanya hingga tampak celana dalamnya. Malim menyerang dengan sekuat tenaga, Awae menghindar, dan dengan sangat cepat ia melancangkan tendangan memutar yang tepat mengenai pinggang Malim.
“Ahhkhh!” Malim mengaduh, lalu jatuh terjerembab dengan muka tepat mengenai batu bata yang ditumpuk rapi untuk membangun selokan depan rumah Sitas. Malim sempat menyerang, lalu pingsan dengan bibir pecah dan muka yang bonyok penuh dengan darah segar.
“Yang merasa peduli dan kasihan dengan Malim cepat tolonglah! Bawa dia ke Puskesmas terdekat! takutnya nyawanya tidak tertolong” kata Awae keras.
“Ternyata Awae masih punya rasa kasihan kepada Malim.” Bisik-bisik orang-orang yang ada di halaman rumah Sitas, lalu dengan tenang Awae melangkah pergi meninggalkan depan halaman rumah Sitas yang penuh sesak dengan gerombolan orang-orang.
Awae tidak peduli lagi dengan gunjingan orang tentang dirinya. Ia juga tidak memperhatikan lagi apa yang diperbuat dan terjadi tadi dengan Malim, dan kegemparan apa yang dibicarakan nanti oleh orang-orang sampai ke telinga Pak RT dan Pak Kades setelah kejadian itu.
“Luka Malim cukup serius, Puskesmas desa tidak sanggup menangani. Sekarang sudah dibawa ke rumah sakit. Katanya, gigi depannya rontok dan mungkin mengalami gegar otak ringan. Apa yang sebenarnya kau lakukan padanya Awae?” tanya Pak Kades.
Malam itu juga Awae disidang oleh Pak RT dan Pak Kades Jatisaba.
“Pak sebelumnya saya mohon maaf yang sebesar-besarnya dan maaf jika perlakuan saya dianggap bersalah, serta kurang terpuji. Saya siap menanggung hukuman apapun yang diberikan kepada saya. Namun jujur dengan hati yang paling dalam, saya merasa tidak bersalah sama sekali. Saya tidak melakukan apa-apa kecuali untuk membela kehormatan ibu saya Mainah, Pak. Selama saya tinggal di Jatisaba ini, saya dihina, direndahkan dan pastinya saya masih memiliki kesabaran. Selama di sini saya juga tak pernah berkelahi dengan siapapun. Saya berusaha menjadi warga desa Jatisaba yang baik, sesuai dengan etika dan adab yang ada di desa ini. Pak! Saya juga berusaha menjadi teman dan tetangga yang baik bagi semua warga yang ada di sini, teman bagi anak-anak Jatisaba dan tetangga yang baik menghormati orang tua serta sesepuh di sini. Malim bukan kali ini saja merendahkan saya dengan mulut pedasnya itu, dan mengusili saya. Bukan hanya saya yang di jahili, dan direndahkan di depan orang-orang Jatisaba. Tapi juga warga yang lain. Kali ini saya tidak bisa menerima pelakuan Malim, sebab dia telah menghina almarhumah ibu saya Mainah. Saya tidak menyerang dia, dia yang menyerang saya duluan. Dan saya membela diri, sekarang keadaanya adalah buah dari perbuatan dia sendiri.” Jawab Awae dengan buliran bening mengembang di ujung matanya.
“Penghinaan seperti apa yang dilakukan Malim kepada almarhumah ibumu?” Jawab pak kades dengan selidik.
“Dia menghina ibu saya sebagai pezina, TKI yang melakukan serong. Hasil serong itu terlahirlah saya. Demi Allah Pak! Dunia akhirat saya tidak terima dengan tuduhan itu! Menuduh orang baik-baik berbuat berzina, hukumannya keras dalam Islam. Jika saja Sayyidina Umar bin Khattab ra. Masih hidup, saat ini saya akan mengadu tuduhan keji ini kepadaya. Malim harus dicambuk delapan puluh kali, jika ia tidak mau arak dia keliling desa Jatisaba agar semua warga masyarakat Jatisaba tahu mana yang baik dan buruk dari seorang pembawa berita tidak benar itu!”
“Mungkin Malim tidak bermaksud begitu, kamu saja yang salah dengar atau salah tafsir.” Ucap pak RT.
“Pak, izinkan saya untuk memanggil beberapa orang yang ada di depan rumah Sitas pada saat itu. Kalau saya salah tafsir hukumlah saya dengan seadil-adilnya.” Jawab Awae dengan tanggap.
Pak RT mengagguk, sedangkan Pak kades menarik napas dengan keprihatinan tergurat dalam raut wajahnya. Awae beringsut mundur pelan-pelan lalu keluar dari ruang itu. Ia pergi memanggil Sitas dan Musri dihadirkan sebagai saksi. Kemudian Sitas dan Musri bergantian menjelaskan peristiwa yang sebenarnya terjadi sejak awal sampai akhir. Pak RT dan Pak kades mengerutkan keningnya mencermati dengan seksama cerita yang diucapkan Sitas dan Musri.
“Awae menurut saya tidak salah, bukan berarti saya condong membela Awae, ucap Pak kades. Saya berusaha objektif dan adil, Awae sebenarnya datang untuk meminta Malim agar meminta maaf, bertaubat dan mencabut kata-katanya itu. Bukan untuk ngajak berkelahi, Malim yang menyerang terlebih dulu.”
“Apakah Malim bisa menghadirkan empat saksi bahwa ibunya Awae melakukan perbuatan itu? Apalagi Awae sebagai anak sudah menolak dan menjelaskan apa yang sesungguhnya terjadi pada ibunya.”
“Bagaimana dengan pernyataan Malim, apakah masuk akal TKI di Malaysia menikah di Johor, Malaysia?” jawab pak RT.
“Itu nanti Awae biar yang menjelaskan, tapi semua pembelaan Malim tidak ada artinya kalau ia tidak akan bisa menghadirkan empat orang saksi, dan pasti ia tidak akan bisa menghadirkan sebab ia tidak berada di Malaysia saat ibunya Awae ada di Malaysia. Pasti Malim akan mengatakan ia dapat cerita dari si anu.”
Pak RT mengagguk-anggukkan kepala.
“Coba ceritakan siapa ibu kamu, bagaiamana ceritanya bisa melahirkan kamu, siapa ayah kamu? Kalau ibu Mainah kamu Jawa, Bapak sangat yakin ayah kamu bukan Jawa. Sebab wajah kamu ada guratan Melayu Malaysianya. Mata kamu yang lebar dan bening, hidung kamu, alis kamu, tidak mungkin Jawa. Coba ceritakan.” Pak kades mencoba membuka pembicaraan dengan menyeluruh.
“Injih Pak,” jawab Awae tenang dan pelan.
“Sama sekali tidak salah Malim mengatakan ibu saya adalah seorang TKI. Itu memang benar adanya, tapi salah besar jika menuduh ibu saya pernah berbuat serong atau zina sehingga lahirlah saya. Itu fitnah dan tuduhan yang keji sekali. Ibu saya merupakan perempuan biasa asal desa Jatisaba. Lahir di desa Jatisaba, Kabupaten Cilacap Jawa Tengah. Ibu saya bernama Mainah atau sapaan akrab di desa Mae, ia benar-benar orang yang baik, jujur, ulet dan tekun menurut saya. Ibu saya yatim piatu sejak kecil, ia tidak berada di lingkungan yang Islami bukan berarti dari keluarga yang tidak baik. Nenek selalu mengajarkan ngaji, solat tepat waktu kepada ibuku, sekolahnya umum SD, SMP, lalu SMA di dekat desa Jatisaba. Kalau sore ngaji di madrasah.”
Awae mengambil napas dan diam sejenak.
“Teruskan, Awae, kami mendengarkan,” gumam Pak kades.
“Lulus SMA lalu ibuku bekerja di pabrik ikan asin di Cilacap. Di situ ibu kenal dengan seorang lelaki, lalu ibu menikah dengannya. Tapi tidak panjang usia pernikahan itu. Ibu minta cerai setelah tahu suaminya ternyata sudah punya istri dan anak di Ajibarang. Untung ibu belum hamil dan belum punya anak. Ibu lalu mengadu nasib mengajak ibu Malim ke Malaysia untuk bekerja di sana. Niatan ibuku mengajak ibu Malim baik untuk melanjutkan kehidupan yang layak. Ikut sebuah biro di Cilacap milik tuan besar yang sudah pasti banyak yang tertarik akan mendapatkan banyak uang, akan tetapi banyak orang yang tidak bisa pulang ke kampung halaman karena meninggal atau mendapat hukuman mati di sana karena melakukan sesuatu yang kurang terpuji. Dengan kerja di Malaysia, ibu berharap mendapatkan jodoh dan rezeki yang banyak untuk membetulkan rumah nenek di kampung.”
“Ibu bekerja dengan majikan yang baik dan baru saja menikah, tugas keseharian ibu setiap pagi menjelang siang hanya bersih-bersih rumah dan menyiram bunga setiap sore yang ada di rumah megah itu. Lalu dua tahun kemudian majikan yang bernama Gao, ia merupakan dosen di Universitas umum ternama di Johor melanjutkan kuliah S3 juga di sana dan Suti istri Gao yang bekerja di perusahaan ekspor-impor, pasangan ini baru memiliki anak perempuan bernama Kusi, ibu saya yang mengasuh Kusi hingga tumbuh besar dan sehat. Suti istri Gao meninggal saat anaknya berusia lima tahun karena kanker ganas, dokter memvonis umur Suti tidak akan lama lagi. Sebelum meninggal Suti berpesan kepada suaminya untuk menikahi pengasuh anak mereka, yaitu ibu saya Mainah.”
“Dia perempuan salehah, baik, jujur dan paling mengerti tentang anak kita setelah kita berdua,” kata Suti kepada Gao.
Akhirnya pernikahan itu terjadi, Gao menikahi ibu saya Mainah. Akad nikah berlangsung di KBRI Johor dengan wali hakim. Walimah dilaksanakan di Masjid Johor, lima bulan kemudian setelah pernikahan Gao dengan Mainah, Suti wafat.”
“Apakah surat-surat pernikahan ibumu itu masih ada?”
“Injih, ada Pak. Ada di rumah, tidak hanya surat nikah tapi foto-foto pernikahan di Johor juga ada. Nanti saya tunjukan, apa mau diambil sekarang? Pak?”
“Tidak usah, nanti saja sekarang lanjutkan ceritamu itu!”
“Saat itu ayah Gao sangat sedih dengan kepergian istrinya Suti, ibu saya selalu menghibur dan memberikan perhatian lebih kepada ayah Gao. Sambil merampungkan disertasi di kampus Johor sampai larut malam, tiba malam ditengah musim dingin yang mengigil ibu yang berada di rumah di temani Kusi. Menunggu kepulangan ayah Gao dari kampus, sampai tengah malam pukul 11 belum pulang juga, sementara hujan angin turun semakin deras. Ibu menelfon pihak kampus menanyakan apakah ayah Gao masih di kampus atau sudah perjalanan pulang. Tak lama kemudian pihak kampus memberi tahu jika ayah Gao ditemukan di ruang kerjanya di kampus dengan keadaan kaku. Ayah Gao wafat dalam keadaan duduk menunduk sedang menulis disertasi yang niatnya akan ia selesaikan hari itu juga. Ibu bilang ayah wafat karena angin duduk, tapi kemungkinan besar serangan jantung yang dialami ayah saat itu.”
Awae terisak, mata beningnya mengeluarkan buliran meleleh.
“Saat itu ibuku sedang hamil tiga bulan, mengandung diriku. Ayah Gao dimakamkan di kampung halamannya di Turki, setelah semua urusan selesai di Turki ibu membawa Kusi ke neneknya di Johor untuk dirawat olehnya. Ibu sempat hidup disana selama dua bulan setelah itu ibu pulang ke kampung halaman di Jatisaba Cilacap Jawa Tengah.”
“Kenapa ibumu tidak tinggal menetap disana?” Pak kades tampak penasaran.
“Di Johor, ayah Gao dibilang sebatang kara. Keluarga besarnya ada di Turki. Ayah belajar S1 di Mesir, lalu S2 di Turki dan berjumpa dengan Suti. Lalu mereka menikah dan menetap di Johor Malaysia tempat kelahiran istrinya. Ayah tak punya apa-apa, ia hanya menafkahi keluarganya dengan mengajar sebagai dosen di universitas umum di Johor. Yang kaya itu istrinya yakni Suti, ibu ditawari untuk bekerja di perusahaan ekspor impornya, akan tetapi ibu tidak mau. Setelah menyerahkan Kusi kepada keluarga Suti di Johor, ibu pamit pulang ke Jatisaba. Ibu sebenarnya ingin merawat dan membawa Kusi ke Jatisaba, akan tetapi tidak di izinkan oleh neneknya.”
“Apakah keluarga Suti atau keluarga dari ayahmu yang ada di Turki dan Malaysia, pernah mencari keberadaan kalian di Indonesia?” tanya pak kades.
“Mungkin pernah mencari, tapi tidak ketemu. Sebab mereka tidak punya alamat lengkap ibu yang sesungguhnya. Ketika ibu pergi ke Malaysia menjadi TKI, paspor dan lain sebagainya dibuatkan oleh pihak agen dengan alamat Jakarta. Itulah kisah nyata siapakah ibu dan ayahku sebenarnya.”
Pak RT dan pak kades mengangguk-angguk.
Berapa tahun kemudian setelah Awae sukses dengan karirnya, dengan bisnis toko roti yang sudah lama ia rintis di Jatisaba, dan memiliki suami yang sangat ia cintai, baik, dan penuh perhatian bernama Pontu merupakan impiannya sejak dulu. Akhirnya Awae berangkat ke Turki untuk belajar di salah satu universitas umum di sana bersama Pontu, mereka berdua mengambil jurusan yang berbeda. Awae mengambil juruan Administrasi sedangkan Pontu mengambil jurusan Hubungan Internasional.
Pagi yang cerah toko roti Awae mulai rame dengan pembeli, perharinya bisa habis berapa ratus dus roti yang dibeli. Malim yang masih lontang-lantung cari pekerjaan perutnya mulai lapar, akhirnya ia mampir membeli roti yang ada di samping jalan. Sambil memilih dan melihat-lihat harga roti yang sesuai dengan kantongnya, ia membeli kue yang harganya terjangkau hanya Rp 4.000 rupiah saja. Saat mengambil uang yang ada di tasnya dan dengan wajah menunduk kasir tersebut ternyata Awae, teman main di kampung Malim yang ia hina dan caci-maki saat di depan rumah Sitas. Ternyata sekarang sudah sukses dan memiliki toko roti. Mereka saling bertatapan, Awae membuka pembicaraan.
“Malim.. kau malim kan apa kabar mu?” Ucap Awae sumringah.
“Baik Awae... senang sekali bisa berkunjung ke toko roti ini, ternyata ini toko rotimu. Bolehkan saya bekerja disini membantu kamu, bisa lah di tempatkan dimana saja.” Jawab Malim membujuk.
“Silahkan dengan senang hati, saya membuka pintu ini dengan lebar. Jika kamu mau bekerja di sini mulai besok bisa menggantikan saya di bagian kasir.” Ucap Awae tulus.
“Terima kasih banyak Awae, maafkan saya yang selalu menyakiti hati kamu dan memfitnah ibumu yang tidak-tidak, dan maafkan juga sikap aku dulu kepada kamu yang kasar.” Permintaan maaf Malim dengan hati yang paling dalam.
“Iya Malim sudah saya maafkan. Sudah-sudah jangan di ingat-ingat lagi yang berlalu biar menjadi pelajaran dalam kehidupan.” Ucap Awae dengan santai dan ikhlas.
“Ternyata seperti ini ya susahnya cari pekerjaan, benar saja ibuku dulu mau bekerja sebagai TKI, menjadi TKI pun tidak mudah syukur-syukur kalo mendapatkan majikan baik, jika tidak nasibnya seperti ibuku pulang tinggal nama saja”. Ucapan Malim dalam batin.
Selesai
Purwokerto, 18 Juli 2019 (Revised)
0 Komentar