AKU
Saat ini aku bercermin untuk mengerti diriku, setidak-tidaknya, atau sebaik-baiknya. Bayangan di cermin itu adalah potret diri. Bukan orang lain, sesungguhnya. Tapi keterasingan itu masih tetap ada di baliknya.Karya: Jerapah Depresi
Sebut saja diriku: Aku. Aku lahir pada bulan kemerdekaan Indonesia. Lima hari pada hari dan bulan setelah “teks proklamasi dibacakan”, pada tahun 1999, dari sepasang suami-istri. Si Istri ini yang kemudian hari menjadi ibuku merupakan orang Jawa. Tulen! Sedangkan Si Suami ini adalah ayahku, orang Sunda. Sebelum Aku lahir, suami-istri ini telah memiliki seorang putri cantik yang kemudian kusebut sebagai Kakakku. Dia lahir sehari setelah “hari sumpah pemuda”, pada tahun 1996.
Ketika Aku lahir, suami-istri ini secara resmi telah memiliki dua orang putri. Putri pertama mereka juga telah resmi menjadi seorang kakak. Sedangkan bagiku, ketika Aku lahir, Aku telah resmi menjadi seorang anak sekaligus adik. Menjadi seorang anak tidak telalu merepotkan bagiku. Justru mendapat perhatian yang lebih. Tapi menjadi seorang adik, lain lagi rasanya. Menjadi seorang adik berarti kamu kecil, lemah, dan kalah. Arti adik itu yang sampai sekarang aku pegang erat.
Aku tahu, arti adik yang seperti kusebutkan tadi tidak seharusnya kupegang erat. Karena pada akhir 2004, sembilan hari sebelum bencana tsunami melanda Aceh, seorang bayi laki-laki lahir dari sepasang suami-istri tadi. Bayi laki-laki itu yang kemudian hari kusebut Adikku. Itu berarti Aku tidak hanya menjadi adik. Aku juga menjadi seorang kakak.
Ketika Adikku lahir, Aku secara resmi telah menjadi seorang kakak. Merangkap sebagai adik pula. Menjadi kakak bagiku memiliki arti menjaga, mengalah, dan sabar. Arti kakak yang kupegang erat sampai saat ini. Ketika menjadi adik adalah kalah, maka menjadi kakak adalah mengalah.
Memiliki dua peran dalam keluarga itu bukan hal yang mudah bagiku. Ketika Aku harus kalah dari Kakakku dan harus mengalah pada Adikku, bagian lain dari diriku memberontak. Aku berusaha meredamnya agar tidak terlalu meluap-luap. Sebab bila di luar kendali, tentu ada harga yang harus dibayar. Aku paham itu!
Namun, bagaimana pun upaya untuk meredamnya, hasrat itu kian bergejolak juga. Aku tidak tahan menerima efek dari peran yang kumiliki seolah seluruh muara tanggung jawab terletak padaku, seperti memikul beban yang berat dan berlipat-lipat. Pemberontakan itu semakin menjadi! Aku makin sering mengamuk ketika aku harus kalah dari Kakakku dan mengalah pada Adikku. Dan yang terberat dari segalanya ialah aku melampiaskan semua itu seorang diri. Kepada angin; kepada angan. Begitulah hari-hari yang lewat, sampai umurku sekitar lima belas tahun.
Aku mulai sadar akan buruknya sikap pemberontakku, setidaknya itu berdampak langsung kepada diriku sendiri. Dada yang sakit sangat menyiksa diri! Maka aku kembali menjadi Si Kalah dan Pengalah. Sebab Aku malas memperjuangkan argumenku. Untuk apa, he? Toh pada akhirnya kalau tidak kalah, ya harus mengalah dan sabar. Pun ketika Aku akan mulai berargumen, Aku memikirkan banyak hal terlebih dahulu. Bagaimana efek argumenku, seberapa besar argumenku akan diterima oleh orang lain dan seberapa logis argumenku. Terlalu banyak berpikir, akhirnya argumenku tidak jadi terlontar. Terbenam jauh di dalam pikiranku sendiri, dan terlupakan begitu saja.
Aku telah menjadi seorang pemikir. Bahkan pemikir akut. Aku memikirkan banyak hal dan kemungkinan yang terjadi sampai membuat diriku panik dan stres. Ada kalanya, Aku harus menyelesaikan banyak hal dalam waktu dekat. Pikiranku mulai bekerja secara perlahan. Namun, ketika satu hal belum selesai dan Aku harus menyelesaikan yang lainnya, kepanikan itu menyergap seperti serigala di gelap malam. Terlebih, Aku mendapat omongan tidak baik dari lingkunganku sehingga Aku menjadi semakin stres dan akhirnya mengalami depresi.
Beberapa kali pernah Aku berpikir yang bukan-bukan karena menanggung derita yang bertubi-tubi dari depresi yang tidak masuk akal ini. Barangkali itu jalan yang terbaik. Namun, Aku masih berusaha mengedepankan akal sehatku. Terkadang aku berhasil menyingkirkan pikiran tersebut untuk beberapa waktu. Tapi ketika pikirian itu muncul kembali, Aku menjadi liar tidak terkendali. Perlahan, Aku mulai menjambak rambutku, memukul kepalaku, dan menangis keras-keras bagaikan orang yang kesurupan.
Kian waktu berlalu, aksiku semakin berani. Aku mulai memotong beberapa helai rambutku. Semakin lama, helai itu menjadi seikat kecil dan semakin banyak rambut yang kupotong. Sehingga penampilanku menjadi tidak karuan. Rambut yang kusut, mata yang lebam, dan berat badan yang turun adalah saksinya. Lucunya aku senang melakukan itu. Seperti ada semacam perasaan yang aneh dan ganjil, namun sangat menenangkan.
Siapa pun yang berpikiran sehat pasti menganggap perbuatan yang kulakukan itu buruk. Sangat buruk! Aku pun sepakat akan hal itu. Tapi aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Tekanan batin ini seperti menciptakan kabut dalam pikiran. Mengaburkan pandangan. Sungguh berat! Kepada siapa .... aku tumpahkan air mataku?
Ayahku sibuk pada pekerjaannya dan tidak ada waktu untuk berbincang-bincang. Menjadi pegawai kantoran yang berangkat pagi dan pulang malam dengan rasa lelah sungguh adalah hidup yang memuakkan. Ibuku juga demikian, karena kian hari pengeluaran dan biaya hidup meningkat, maka ia pun mencari penghasilan tambahan. Sebab barangkali yang ada di pikirannya ialah bahwa anak-anaknya sudah bisa mengurus dirinya masing-masing. Jadi, daripada menyia-nyiakan waktu, lebih baik mencari penghasilan tambahan. Urusan rumah tangga seperti memasak, mencuci, dan membersihkan rumah adalah pekerjaanku dan pekerjaan Kakakku. Oleh karena itu, tidak pernah ada sedikit perbincangan meskipun saat makan bersama. Padahal itu adalah waktu terbaik untuk berdialog dan bercerita tentang keadaan masing-masing.
Pernah dalam suatu kesempatan Aku mencoba sedikit curhat kepada Kakakku. Tapi jawabannya tidak seperti yang kuharapkan. Ia bilang kalau tidak sepantasnya Aku mengeluh, sebab semua orang sama-sama menanggung beban.
“Hidup adalah beban dan penderitaan. Mengeluh hanya akan menambah beban yang tidak perlu,” katanya suatu ketika. Yap, cukup masuk akal tapi tidak masuk di hati. Bahkan tidak menyentuh sama sekali.
Sementara Adikku ... jangan ditanya! Mana paham dia! Memangnya apa lagi yang bisa diharapkan dari anak-anak selain kekanak-kanakannya? Dan kurasa persoalan depresi bukanlah persoalan anak-anak yang hidupnya selalu dimanja.
Keluarga ini seperti membangun dinding masing-masing, yang tak bisa ditembus sama sekali. Segalanya tak bisa dibaca dan dipahami. Hingga pada akhirnya hanya menimbulkan keterasingan. Sebagaimana yang kini Aku rasakan. Antara adik, kakak, ibu, atau ayah hanyalah wujud diri yang begitu bias, kecuali pada pemaknaanku sebelumnya. Ya, hanya sebatas itu.
Untung saja, aku bisa bercerita kepada teman baikkku, cermin ini, tentang apa yang kualami dan kurasakan. Setidaknya ia dapat menjadi pendengar yang baik dan turut bersimpati atas tekanan batin yang kualami dengan tidak menertawainya. Itu sangat berharga buatku. Biarpun hanya sementara. Hanya sementara.
Ketika perasaan depresi itu datang lagi, aku memotong rambutku dan menangis lagi. Rasa depresi itu bisa muncul tiba-tiba tanpa bisa kusadari dan kupahami. Lalu, yang tersisa darinya adalah keputusasaan dan kesia-siaan. Dunia ini, kurasa, terlalu banyak diisi oleh keduanya.
Waktu telah lewat tengah malam. Malam menjadi dingin. Dan rupanya cermin yang retak-retak itu tidak dapat berkata lebih banyak lagi. Jendela yang terbuka, gunting yang tajam, dan tumpukan pakaian yang berantakan, yang keluar dari dalam lemari sungguh sangat menggoda. Entahlah, badanku gemetar begitu hebat. Kau tahu maksudku bukan?
Selesai
Purwokerto, 25 Mei 2019 (Revised)
0 Komentar