Selamat datang di blog Himasasi Unsoed... Semoga Anda dalam keadaan sehat dan bahagia... Terima kasih sudah berkunjung... Salam Sastra dan Salam Budaya...

Dia Pernah Jahat Padaku

Sudah banyak kali aku merasa ditatap sebegitu herannya oleh orang lain. Tidak aku kenal siapa saja mereka. Mengapa mereka begitu padaku? Sepanjang jalan, ada tatapan takut, heran, jijik, bahkan menganggap diriku sebagai bahan tawaan mereka. Sampai saat ini aku juga masih mempertanyakan hal itu pada diriku sendiri. Kata temanku, kejadian seperti itu hanya perasaanku saja. Sebenarnya mereka tidak menatapku seperti yang aku rasakan. Tapi kenapa terasa sungguh-sungguh tatapan mereka tertuju padaku.

“Aku salah pakai baju kah?” Pertanyaan pertamaku saat sudah sampai di rumah Fani dan dibukakan pintu olehnya. Dia mengajakku untuk datang ke rumahnya. 

Dia teman dekatku satu-satunya. Dia juga sering memintaku untuk main ke rumahnya. Aku jarang menolak dan tidak selalu menurut juga. Aku tidak enak kalau sering-sering main ke rumahnya. Membuatnya repot. Tak pernah kosong sajian yang diberikan, pasti selalu ada makanan atau minuman yang disuguhkan. 

“Baju kamu bagus, make-up kamu juga bagus banget. Kenapa lagi, Tias?” 

Kenapa lagi? Dia sudah hafal dengan kebiasaanku yang tidak pede dengan penampilan sendiri. Aku rasa, dia mungkin bisa saja bosan menanggapiku yang tidak percaya diri ini.

Tapi aku selalu suka dan sangat menghargai Fani yang hobi memujiku, apalagi saat aku merasa di titik paling tidak pede. 

Walaupun sulit, aku akan terus berusaha percaya diri pada penampilanku. Seperti Fani yang tidak malu mengenakan baju dan celana yang nabrak warna. Lagi pula dia terlihat cocok dan bagus walaupun dengan pakaian seperti itu. Dia tidak perlu malu. 

“Tadi di jalan aku merasa diperhatikan terus.” Jelasku.

Sebenarnya ini sangat mengganggu, aku selalu memikirkan apa yang orang lain pikirkan tentang diriku, terutama tentang penampilanku yang mungkin terlihat salah bagi mereka.

“Sudah lah, aku tak percaya itu. Kamu selalu merasa tidak baik di pandangan orang lain, padahal tidak ada yang salah darimu.” Fani sudah sering mengatakannya padaku, tapi aku tidak pernah bosan untuk mendengarkan kalimat itu. Kalau lebih jahatnya, bisa dikatakan aku tidak percaya dengan yang ia bilang. 

“Aku punya makanan dan minuman untuk nanti kita bawa. Biar gak perlu beli di sana.” 

“Memangnya kita mau ke mana? Pake bawa bekal segala.” Fani tidak memberitahuku bahwa kita akan pergi.

“Kamu gak lihat di jalan tadi?” Fani bertanya dengan heran, aku pun ikut heran.

“Lihat apa?”

Terlalu memikirkan pandangan orang lain tentang diriku ternyata tidak baik ya, sampai-sampai aku tidak tahu ada apa di jalan tadi. 

“Tidak tahu? Ya sudah lihat saja nanti. Ayok berangkat.”

Aku dan Fani berangkat ke jalan yang dimaksudnya. Kita sampai di jalan yang tadi kulewati saat akan ke rumah Fani. Di sana ternyata ramai. Ramai dengan orang-orang yang mengeluarkan banyak ekspresi. Ekspresi yang hampir sama dengan orang-orang yang menatapku. 

“Di sini ramai banget, tadi kamu tidak sadar?” Fani bertanya padaku yang sedang kagum melihat sekitar. 

Aku menggeleng, menanggapi pertanyaannya.

Benar, sepertinya aku terlalu fokus dengan yang dipikirkan orang lain tentangku. Mereka seolah menatapku dengan tidak suka. Padahal bukan itu yang mereka lakukan. 

Di jalan itu sedang ada pameran terbuka, orang-orang menggunakan pakaian-pakaian aneh yang kreatif. Ada juga yang bagus mengkilap. Namun, yang tadi aku fokuskan mungkin saat berjalan di depan orang-orang berpakaian aneh. 

Aku pikir orang-orang tidak aku kenali yang berada di seberang kanan tadi tidak sedang menilaiku, tapi menilai orang-orang kreatif itu. Ekspresi yang mereka berikan bukan untuk aku. Aku salah mengira.

Bukan mereka yang jahat, tapi dia yang jahat. Dia berpikir orang lain berpandangan buruk tentang diriku. Membuatku tidak percaya diri dan merasa terintimidasi. Aku harap setelah ini, dia tidak mengganggu pikiranku lagi. Aku juga ingin berpikiran bahwa orang lain pun punya pandangan baik padaku. Aku maafkan kejahatannya dan aku ingin hal itu tidak terulang lagi sampai kapanpun, agar aku dapat percaya diri dengan diriku apa adanya. Dia, sisi diriku yang menyebalkan, aku harap kau perlahan pergi dan tidak mengganggu pikiran baikku lagi.



Penulis: Alifa Qisthi Nurakhsani

Posting Komentar

0 Komentar