Karya: (Anonim)
Panas matahari sudah tidak lagi menyengat saat Naima melangkahkan kakinya keluar rumah. Tepat pukul 16.00 sosok berjilbab hitam polos itu memasuki tempat yang dia tuju. Suara bel yang terpasang di pintu menjadi tanda bagi pemilik tempat akan kedatangan tamunya, seorang perempuan di balik meja kasir menyapa ramah sembari mengucapkan “Selamat datang!”.
Naima tersenyum ramah, membalasnya dengan anggukan kepala sebelum menuju meja di sudut kafe dengan 3 orang perempuan yang duduk mengelilinginya. “Apakah aku terlambat?” tanyanya tak enak hati. Ia melihat jam tangan. Jika sesuai perjanjian maka dia belum terlambat, tapi tidak biasanya 3 orang di hadapannya ini tepat waktu.
“Memangnya kau saja yang bisa tepat waktu?” celetuk Jihan yang memang paling frontal di antara mereka semua. Nada bicaranya yang sedikit pedas itu tidak lagi menjadi masalah bagi Naima. Dia sudah sangat paham bahwa Jihan tidak bermaksud sinis, memang begitu cara bicaranya. Lagipula terlihat dari mimiknya jika perempuan yang menggunakan kemeja biru muda itu hanya sedang bercanda.
“Tapi kenyataannya memang aku yang selalu tepat waktu, bukan?” balas Naima melontarkan gurauan juga, yang lain tertawa kecil menanggapinya.
“Tidak tidak, kita memang sengaja datang lebih awal. Takut jika terlambat di acara sepenting ini maka kau akan marah-marah, Nay,” tawa pecah lagi karena ucapan Gina. Naima memasang wajah sok marah namun tak lama kemudian berbaur mengikuti yang lain. Gina memang suka mengingatkan tabiat Naima sebagai sosok yang paling rajin mengomel diantara mereka. Tentu saja bukan tanpa sebab dia seperti itu, Naima suka marah-marah karena memang Jihan, Gina, dan Maya yang belum bersuara itu sering bersikap nakal.
Kenyataannya memang usia mereka diantara 22-23 tahun, namun bukan berarti tidak bersikap seperti anak kecil. Terkadang Maya tiba-tiba merengek hanya untuk minta disuapi, belum lagi pertengkaran Jihan dan Gina yang sering terjadi hanya karena meributkan hal tidak penting. Lalu bagi Naima yang memilih gaya hidup sehat, melihat mereka bertiga suka makanan cepat saji juga bisa menjadi sumber kemarahan. Tanpa unsur kesengajaan Naima memang telah menjadi sosok yang paling dituakan, menjadi sosok ibu bagi mereka para anak rantau. Bahkan seringkali menjelma sebagai seorang perawat saat mereka jatuh sakit.
“Untukku?” jelas sudah jawaban akan pertanyaan itu. Namun dia hanya berbasa-basi. Tentu saja selain Maya, hanya Naima yang berada dalam tim teh hijau. Maka dari itu di meja hanya ada 2 minuman berbau matcha, satu ice matcha latte milik Maya dan yang di hadapan Naima adalah hot matcha latte miliknya.
“Terima kasih...” tangan jahil Naima mencubit pipi yang berjilbab hitam lainnya. Dia Maya, meringis kesakitan. “Sakit Nay, bisakah kau menghentikan kebiasaanmu itu?”
“Tidak apa-apalah, May. Sebentar lagi aku tidak bisa melakukannya kan?”
Hening. Pertanyaan Naima tidak dijawab oleh siapapun. Suasana menjadi sendu untuk beberapa saat. Beruntung ada Gina yang berperan sebagai sosok pemecah suasana. “Jika kau melakukan itu dulu waktu masih semester 1, pasti Maya akan marah besar. Iya kan, May?”
Maya menyeruput minuman yang tinggal setengah gelas sebelum menganggukkan kepalanya. “Jelas lah, dulu aku sangat membenci nyonya besar ini. Uh! Dia benar-benar menyebalkan waktu itu!”
“Kau juga sama menyebalkannya, May! Aku bahkan pernah bersumpah tidak akan pernah mau berteman denganmu,” sahut Jihan sambil santai sambil mengunyah camilannya. Percayalah jika sebenarnya pembahasan tentang hal ini sudah berkali-kali mereka lakukan. Setiap ada kesempatan ketika keempatnya berkumpul maka akan ada topik dari masa lalu yang dibahas. Tetapi entah mengapa mereka tidak bosan, sikap kekanakan yang mereka lakukan di masa lalu itu selalu saja dapat mengundang tawa. Benar-benar lucu jika mengingat Jihan yang sangat enggan berteman dengan Maya namun hingga hari ini mereka justru menjadi sangat dekat karena memiliki banyak ketertarikan pada hal yang sama.
Gina, Jihan, dan Maya terus melanjutkan obrolan mereka. Tentang banyak hal, beberapa masih tentang masa lalu, mengenai bagaimana awal kedekatan mereka, hingga berbagai kenangan saat mereka bersama dalam suka maupun duka. Naima pun sesekali menyahut, menimpali, menyambung atau mengoreksi cerita ketiganya. Namun dia lebih banyak diam, mengamati wajah-wajah sahabatnya dan menyimpannya dalam ingatan yang paling dalam.
Esok tidak akan ada lagi “acara penting” seperti ini. Esok semua hal akan berubah satu persatu. Esok akan tiba saatnya hidup yang baru mereka jalani masing-masing.
Beberapa waktu Naima tenggelam dengan pikirannya sendiri. Banyak hal yang tiba-tiba terputar laiknya tayangan film di dalam otaknya. Betapa waktu tak terasa telah berlalu begitu cepat. Kedekatan mereka yang bermula dari semester 3 hingga sekarang semuanya sudah bergelar Sarjana Sastra seakan belum cukup untuk menciptakan banyak momen berharga.
“Nay!” Maya yang duduk di samping perempuan itu mengguncangkan tubuhnya pelan. Ternyata dia melamun dan ketika sadar kumandang adzan sudah memenuhi seluruh penjuru kota Purwokerto. “Hey! Melamun saja!”
“Sudah waktunya sholat maghrib, ayo!” ajak Gina. Buru-buru Naima, Maya, dan Jihan beranjak dari duduk mereka untuk menuju masjid kecil yang tersedia di bagian paling belakang kafe bergaya vintage ini.
Astaghfirullah.. Waktu memang berlalu begitu cepat. Mereka tadi berkumpul mulai dari pukul 16.00 dan sekarang sudah pukul 17.50. Hampir 2 jam bercerita ini dan itu namun masih dirasa kurang saja. Banyak hal yang belum sempat diutarakan. Termasuk niat Naima menyatakan seberapa besar dia menyayangi sahabat-sahabatnya ini.
“Allahu Akbar...” maka saat sholat, saat dia menjadi imam bagi ketiga sahabatnya, saat sesuatu terasa mencubit hatinya, suara Naima bergetar hanya untuk menahan tangis. Ya Allah, hati Naima sakit mengingat jika hari ini adalah akhir dari perjalanan mereka. Bukan berarti silaturahmi mereka akan putus di sini. Namun sekali lagi, esok hari masing-masing dari mereka akan memulai hidup yang baru. Tidak bersama-sama di Purwokerto, tapi di kota kelahiran masing-masing.
Pukul 20.00 nanti Gina akan naik kereta pulang ke Cianjur, Jawa Barat. Dan esok hari dua orang sekaligus akan kembali ke kota Padang dan Bogor. Semuanya jauh dari Purwokerto. Semua akan jauh dari Naima yang memilih tetap tinggal di kota asalnya. Kegiatan menempuh pendidikan S1 mereka di kota ini telah usai, begitu pula perjalanan hidup mereka di sini.
“Ya Allah, hamba menyesal karena tidak memanfaatkan waktu untuk bersama lebih lama dengan mereka. Namun hamba memang tidak sepatutnya kufur akan nikmat-Mu yang telah menghadirkan sahabat sebaik Gina, Jihan, dan Maya ini. Alhamdulillah, hidup hamba menjadi lebih berarti karena adanya mereka. Hamba mohon jagalah mereka dimanapun berada. Pertemukan kami kembali dalam keadaan yang baik, Ya Allah. Aamiin,” doa Naima setelah sholatnya usai. Gina, Jihan, dan Maya di belakangnya pun mendoakan hal yang tak jauh berbeda. Mereka semua amat menyayangi satu sama lain.
“Gin, Han, May, sebelum tiba kalian pergi dari kota ini...” Naima berbalik badan menghadap para sahabatnya. Mata perempuan itu sudah berkaca-kaca, membuat hati tiga orang lainnya ngilu. Karena mereka sudah tahu akan kemana arah pembicaraan ini.
“Aku ingin mengatakan satu hal, bahwa aku amat menyayangi kalian,” Jihan yang pertama kali mengusap punggung Naima saat air matanya pecah. Gina dan Maya beringsut mendekat, mata mereka juga sudah berkaca-kaca.
“Acara penting kita tidak terasa berlalu sangat cepat,” maksud Jihan tentu saja acara kumpul dan mengobrol tadi. Memang sebuah kegiatan biasa yang mereka lakukan selama bertahun-tahun ke belakang. Namun hari ini menjadi sangat penting karena mereka lakukan sebelum berpisah. “Iya,” Naima, Gina, dan Maya menganggukkan kepala pelan. Memang benar jika waktu berkumpul bersama orang tersayang itu akan selalu terasa kurang.
“Aku sayang kalian, Nay, May, Gin.”
“Aku juga Han, Nay dan May.”
“Alhamdulillah aku bisa menyayangi dan disayangi kalian Gin, Han, Nay.”
“Terima kasih telah hadir di dalam hidupku,” dan untuk momen menyedihkan ini Naima menarik para sahabatnya dalam sebuah pelukan yang hangat. Sebuah pelukan paling berharga sebelum saatnya perpisahan mereka tiba.
Selesai
Purwokerto, 28 Juli 2019 (Revised)
0 Komentar