![]() |
KATSURI DALAM ROKOK Karya: Aroma |
Hari-hariku selalu dibuka dan diakhiri dengan mencari ibuku yang di cap sinting. Padahal, ibuku tidaklah sinting. Dia hanya terlalu jujur menyatakan siapa dirinya tanpa memikirkan benturan dengan apapun dan siapapun. Tiap sore setelah memandikannya dibawah pancuran tiga, ibu selalu mendongengkan kisah yang kadang membuatku bergidik, antara heran dan takjub. Dan favoritku adalah saat ia berkisah tentang Aisopos.
Suatu sore, setelah ibu mendongeng tentang Aesop yang keluar dari wilayah mereka dibantu dengan kakak adik pasukan spartan, kami pulang dengan membawa daun rugola untuk tambahan sup yang akan dimakan bersama. Perjalanan yang biasanya dipenuhi sunyi, kini terasa berbeda. Entah kenapa sekarang ibu berbicara banyak mengenai Arche dan memintaku pergi kesana. Katanya, disana ada hal yang kudamba-damba.
Aku bersiap dengan ragu, apakah di Arche aku akan menemukan sesuatu? Aku takut meninggalkan ibuku dan kembali dengan kekosongan. Aku tak tahu mendamba apa, karena disini aku merasa telah memiliki segalanya. Memiliki seorang ibu yang selalu mengajakku menjelajah ruang dan waktu dengan kisahnya, hingga aku merasa melampaui batasku sebagai manusia yang selalu terpinggirkan. Pernah ada satu hal yang mengganggu pikiranku, tapi itu sudah ku buang jauh-jauh. Dulu, aku ingin ibuku dianggap waras oleh masyarakat, aku ingin kami diakui sebagai manusia, bukan hanya parasit kota.
Setelah memandikan ibu, aku berangkat. Kata ibu aku harus melewati Brike, Mantiz, dan Ubite untuk sampai ke Arche. Dan sekarang aku berada di gerbang kota Brike, tinggal selangkah lagi dan aku akan memasuki tempat asing. Aku takut ditolak, aku takut disingkirkan lagi. Aku masuk dengan keraguan dan aku merasa semua mata seolah melihatku. Aku panik. Aku mundur dan berusaha keluar, tapi pintu gerbang seolah terkunci. Ataukah aku yang membeku? Aku tak tahu. Aku harus apa? Harus bagaimana?
Aku terbangun pada kasur yang hangat, wangi udang rebon menusuk hidungku. Wah ibu memasak makanan favoritku, pasti disertai dengan telur balado dan sayur asem. Aku bergegas menuju meja makan sembari mengambil piring. Aku terbentur. Piringku pecah. Semua menghitam.
Aku berjalan, aku menengadah, tak berani menatap kebawah. Takut hiu tiba-tiba muncul dan menghancurkan tanah. Semakin cepat. Aku berlari. Aku tiba di pengujung kota Brike, aku tak sadar sudah sejauh dan selama apa kaki menyisir kota ini. Brike, kota pesisir yang berada di utara kotaku, Athez. Aku menoleh kebelakang, mencari hal yang kudapat di kota ini, tapi aku tak menemukan apapun. Aku hanya melihat banyak orang yang berteriak dibawah terik, kuli-kuli pelabuhan yang memikul bakul penuh ikan, orang-orang yang menjemur garam, dan transaksi penjualan ikan pada pengepul. Oh ya, berkali-kali aku melihat penipuan di kota ini, permainan harga oleh pengepul, tukang kredit menyesatkan, penjual ikan yang tak jujur, dan sebagainya. Haaaah, muak. Sekarang aku merasa tubuhku kotor sekali, penuh debu dan peluh. Aku bau amis. Aku butuh mandi.
Setelah Brike, aku tiba di Mantiz, kota yang dikenal sebagai kota dewa dewi. Dari gerbang kota pun aku mengetahui bahwa aku akan dimanjakan dengan pemandangan indah didalam sana. Dengan percaya diri aku masuk kedalam dan melihat sekeliling. Benar, sungguh indah dan agung. Aku tersenyum dengan canggung, ya senyum pertamaku pada orang selain ibuku. Ternyata semua mata melihatku bukan dengan tatapan jijik, tapi tatapan kasih sayang. Aku dimandikan dan diberi pakaian. Kini aku mencium aroma katsuri ditubuhku dan dimana-mana. Oh ya, disini juga aku diceritakan silsilah Cronus dan Rhea yang memiliki Zeus, Poseidon, Hades, dan lainnya sebagai anak hingga kisah Athena serta kisah Hermaphrodite. Di kota ini pula aku diajarkan cara menyembah dewa dewi yang seharusnya, apa yang bisa kita lakukan untuk menyenangkannya. Aku ingin berlama-lama di kota ini, menikmati dan mempelajari segalanya. Namun aku tak bisa, perjalananku masih panjang, aku masih ingin ibu dicap waras dan segera kembali untuknya.
Tak terasa ini malam terakhirku di Mantiz setelah 2 tahun aku disini, di kota yang sempurna. Tiada keburukan barang setitik, semua indah. Aku harus tidur.
Malam ini sangat terang, bulan berada diposisi terindahnya. Aku berada ditengah lapangan sambil memakan roti bakar dan susu rasa Greentea. Jam menunjukkan pukul 02.00 dan aku masih menghitung jumlah bintang di angkasa. Sudah pada bilangan berapa? 941? Entahlah.
Aku meninggalkan Mantiz dengan aromanya yang tetap melekat ditubuhku, aku merasa telah menjadi bagian darinya. Menjadikannya rumah kedua setelah ibu, bukan Athez, karena Athez tak pernah menjadi bagian penting dalam diriku, dalam hidupku.
Lampu-lampu didalam bis padam, tanda bis hendak berangkat menuju suatu tempat sekaligus waktunya penumpang terlelap. Tapi aku tidak, aku menikmati perjalanan dengan menatap keluar jendela. Ada pohon yang berjalan mundur, mobil yang berlari, truk yang hendak menggulung bumi didalamnya, serta orang-orang yang tak pernah berhenti. Mereka mau kemana?
Gerbang Ubite ada didepan sana dengan dekorasi yang tak kumengerti namun nampak indah sekali dari jarak sejauh ini. Aku semakin dekat dan semakin bingung dengan relief yang menghiasi gerbang, terlalu sulit diartikan. Banyak gambar prempuan yang sedang bersenggama dengan sesamanya, lelaki yang meminum arak, anak kecil yang menari, nenek-nenek yang duduk di singgasana, dan sebagainya. Gambar itu dipenuhi coretan lingkaran yang terasa tak berujung. Aku ragu, haruskah aku masuk? Akankah aku diterima?
Pintu gerbang terbuka dan aku melihat banyak hal luar biasa, diluar nalar. Gajah yang ditunggangi anak kecil, nenek-nenek yang tidur di tanah bersama beberapa pria, sekumpulan laki-laki yang sedang minum, perempuan yang menari stiptis, sesama lelaki yang bercumbu, serta asap yang berbau dimana-mana. semua tak berbaju, hanya beberapa yang menggunakan selendang. Semua gila. Mereka melihatku, menatap sekejap lalu asik dengan dunianya kembali. Aku merasa tidak dihiraukan.
Satu-dua hari aku merasa aneh dengan lingkungan ini, sepanjang perjalanan mereka tak pernah berubah, tetap tak acuh. Hingga akhirnya aku mulai terbiasa. Tak ada yang aneh dengan mereka maupun dengan aku. Aku mulai mampir ke kedai dan membeli perbekalan, melihat pertunjukan, dan beberapa kali ikut menari bersama. Tak terasa sudah nyaris setahun aku di Ubite, dan aku nyaman serta terbiasa. Aku mulai menanggalkan pakaianku dari Mantiz, dan tanpa terasa aroma katsuriku tersamarkan. Tanpa sadar aku melupakan tujuanku pergi mencari apa aku seharusnya. Disini aku malah bebas menyuarakan siapa aku, yang aku pun tak tahu aku ini siapa.
Di hari ke 4215, kabar itu datang. Kabar jika Athez dan Brike tenggelam bersama air, tanpa jejak dan jajak. Menghilang dan tertutup. Aku menangis. Aku menangis.
Air mata kuseka dengan tissue, entah tissue keberapa. Setelah mengucap pamit pada mereka aku pergi. Membawa beban harapan dan kekhawatiran. Aku mengelana ke tempat yang tak pernah terjangkau mata. Pesan ibu untuk berhati-hati dan pesan ayah untuk menjaga diri membuat air mataku merembes. Mampukah aku di kota itu menjaga amanah ayah ibu?
Aku menuju Arche malam ini, tanpa keinginan apapun. Hanya bentuk pemenuhan wasiat ibuku terhadap diriku. Dahulu inginku hanya ibu yang dianggap waras, tapi kini malah aku yang gila sedangkan ibuku sudah tiada. Jalanku gontai, aku meninggalkan Ubite tanpa pernah benar-benar pergi. Aku tetap didalam, dengan raga yang menjauh bersama aroma asap ditubuhku.
3 bulan aku menyusuri jalan, menanyakan dimana letak Arche tapi tak ada satupun orang yang bicara, semua diam. Aku kembali ke Ubite. Memuaskan dan menyenangkan diriku lagi. Aku berjalan lagi selama 1 tahun untuk mencari Arche, namun nihil. Kota itu berada ditengah ketidakmungkinan sebuah harapan. Kota itu tak pernah terlihat mata, terdengar telinga, dan tersentuh kulit manusia. Kota itu tak nyata.
Aku pulang, pada rumahku di Ubite. 3 hari disana aku masih menikmati irama tari, 7 hari disana aku masih ikut minum bersama, 2 minggu disana aku kehilangan selera. Aku muak pada semua hal. Pada jam yang terus berputar, pada suara yang terus ada, pada gerak yang tak kunjung diam, pada apapun dan pada siapapun. Aku muak. Aku merasa ada yang lain pada Ubite, semua nampak berbeda setelah aku pulang mencari Arche. Semua terkesan palsu. Tawa yang tercipta seolah menutupi luka, tubuh yang menari seolah menutupi keterbatasan, dan musik yang mengalun seolah menutupi tangis yang hebat.
Ubite yang tak lagi sama, ataukah aku yang sudah berbeda?
Aku, Sena yang kebingungan dengan bau tubuhnya sendiri.
Selesai
Purwokerto, 18 Juli 2019 (Revised)
0 Komentar